Kalimat la haula wala quwwata illa billah atau hauqalah sudah tidak asing lagi bagi umat Islam. Ini merupakan salah satu dzikir yang memiliki keutamaan sangat banyak. Selain menunjukkan permohonan pertolongan kepada Allah, kalimat la haula wala quwwata illa billah juga menjadi sarana untuk mendapatkan kemuliaan abadi dan keselamatan atas pertolongan-Nya. Bacaan satu ini tidak hanya menjadi media untuk mendapatkan pahala, namun juga menjadi penyebab orang mendapat kenikmatan di surga. Rasulullah saw bersabda:
يَا عَبْدَ اللهِ بْنَ قَيْسٍ، أَلَا أَدُلُّكَ عَلَى كَنْزٍ مِنْ كُنُوْزِ الجَنَّةِ؟ قُلْتُ: بَلى يَا رَسُوْلَ الله، قَالَ: لَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللهِ
Artinya, “Wahai Abdullah bin Qais, maukah aku tunjukkan kepadamu suatu simpanan dari berbagai simpanan surga?” Aku menjawab: “Tentu, wahai Rasulullah.” Kemudian beliau bersabda: “La haula wala quwwata illa billah.” (HR al-Bukhari). (Majduddin al-Jaziri, Jâmi’ul Ushûl fî Ahâdîstir Rasûl, [Beirut, Dârul Kutubil ‘Ilmiyyah: 1972], juz IV, halaman 176).
Syekh Muhammad Asyraf bin Amir Syaraful Haq as-Siddiqi (wafat 1329 H) mengatakan, yang di maksud simpanan (kanzun) pada hadits di atas adalah pahala yang oleh Allah disimpan di dalam surga yang kelak di akhirat akan diberikan kepada orang-orang yang membaca kalimat la haula wala quwwata illa billah; atau bisa juga diartikan sebagai barang surga yang sangat indah yang sudah dipersiapkan oleh Allah untuk orang-orang yang membacanya. (Muhammad Asyraf as-Siddiqi, ‘Aunul Ma’bûd Syarhu Sunan Abî Dâwud, [Beirut, Dârul Kutubil ‘Ilmiyyah: 2009], juz IV, halaman 271).
Adanya hadits ini menjadikan umat Islam sangat semangat untuk membaca kalimat la haula wala quwwata illa billah atau hauqalah, dan menjadikannya sebagai wirid secara istiqamah. Semua umat Islam yang ada di belahan dunia pasti tahu dengan bacaan yang satu ini. Namun, yang perlu diketahui pertama kali dari bacaan ini adalah makna yang terkandung di dalamnya.
Makna La Haula wala Quwwata illa billah atau Hauqalah
Di balik kemasyhuran kalimat la haula wala quwwata illa billah atau hauqalah terdapat ragam penafsiran dari para ulama. Penafsiran tersebut disampaikan satu persatu oleh Syekh Abul ‘Ala al-Mubarakfuri (wafat 1353 H) dalam salah satu kitabnya Tuhfatul Ahwâdzi. Di antaranya sebagaimana penafsiran yang disampaikan oleh Imam Nawawi:
قَالَ النَّوَوِيُّ هِيَ كَلِمَةُ اسْتِسْلَامٍ وَتَفْوِيْضٍ، وَأَنَّ الْعَبْدَ لَا يَمْلِكُ مِنْ أَمْرِهِ شَيْئًا، وَلَيْسَ لَهُ حِيْلَةٌ فِي دَفْعِ شَرٍّ وَلَا قُوَّةَ فِي جَلْبِ خَيْرٍ إِلَّا بِإِرَادَةِ اللهِ
Artinya, “Imam an-Nawawi berkata: ‘Kalimat la haula wala quwwata illa billah atau hauqalah adalah kalimat yang penuh kepatuhan dan kepasrahan diri (kepada Allah), dan sungguh seorang hamba tidak memiliki urusannya sedikit pun, tidak ia tidak memiliki daya untuk menolak keburukan dan tidak memiliki kekuatan untuk menarik kebaikan, kecuali dengan kehendak Allah swt’.” (Abul ‘Ala Muhammad ‘Abdurrahman bin ‘Abdurrahim al-Mubarakfuri, Tuhfatul Ahwâdzi bi Syarhi Jâmi’it Tirmidzi, [Beirut, Dârul Kutubil ‘Ilmiyyah: 2000], juz IX, halaman 301).
Masih dalam referensi yang sama, Syekh al-Mubarakfuri mengutip salah satu pendapat ulama, bahwa kalimat la haula wala quwwata illa billah atau hauqalah memiliki makna tidak ada daya dalam menolak semua kejelekan dan tidak ada upaya untuk menarik kebaikan. Pendapat lain juga mengatakan, bahwa maknanya adalah tidak ada daya untuk menghindar dari bermaksiat kepada Allah dan tidak ada kekuatan untuk melakukan ketaatan kepada-Nya, kecuali atas pertolongan-Nya.
Menurut al-Hafidh Muhammad bin ‘Abdurrauf al-Munawi (wafat 1031), dalam kalimat la haula wala quwwata illa billah atau hauqalah terdapat pengakuan orang berlepasnya diri dari daya dan kekuatan dirinya sendiri, kemudian menyandarkan daya dan kekuatan hanya kepada kehendak Allah swt. Artinya, ia menganggap dirinya tidak bisa melakukan apaun tanpa disertai pertolongan Allah. Ini merupakan prinsip tauhid yang sebenarnya, yaitu menyandarkan semua urusan kepada Allah swt semata.” (Muhammad bin ‘Abdurrauf al-Munawi, Faidhul Qadîr, [Mesir, Maktabah Tijâriyyah al-Kubra: 2004], juz III, halaman 140).
Begitu juga menurut Imam Ibnu Hajar al-Asqalani, tidak jauh berbeda dengan beberapa makna yang telah disebutkan sebelumnya. Menurutnya, makna kalimat la haula wala quwwata illa billah atau hauqalah adalah tidak ada yang memiliki daya untuk bisa menghindar dari maksiat kecuali dengan adanya penjagaan dari Allah, dan tidak ada yang memiliki kekuatan untuk melakukan ketaatan kecuali mendapatkan taufiq dari Allah swt. (Ibnu Hajar al-Asqalani, Fathul Bâri, [Beirut, Dârul Ma’rifah: 1999], juz XI, halaman 500).
Sayyid Muhammad bin ‘Ali Ba Alawi (wafat 960 H), dalam salah satu kitabnya memiliki makna yang lebih detail. Menurutnya, maksud memasrahkan semua urusan kepada Allah ialah orang tidak lagi meragukan keadaan dan urusannya, ia percaya penuh bahwa semuanya terserah kehendak Allah mau dibagaimanakan. Ia juga percaya urusan rezekinya, bahwa semua rezekinya dan rezeki seluruh makhluk di dunia sudah diatur dan dijamin oleh Allah. Gambaran yang tepat menurutnya adalah sebagaimana tingkat kepercayaan burung pada rezekinya, ia menjalankan kesehariannya tanpa persiapan, semua makanan yang dimilikinya akan dihabiskan saat itu juga, tanpa berpikir tentang makanan selanjutnya. Artinya, sebisa mungkin tingkat kepercayaan manusia terhadap rezekinya bisa sama dengan kepercayaan burung tidak pernah mengkhawatirkan atas rezekinya. Inilah makna sebenarnya yang terkandung dalam kalimat la haula wala quwwata illa billah atau hauqalah. (Muhammad bin ‘Ali Ba Alawi al-Husaini at-Tarimi, al-Wasâ-ilusy Syâfi’ah fil Adzkârin Nâfi’ah wal Aurâdil Jâmi’ah, [Yaman, Maktabah al-Ahqâf, cetakan pertama: 2001], halaman 52).
Keutamaan Kalimat La Haula wala Quwwata illa billah atau Hauqalah
Sebagaimana telah disinggung di atas, mengutip sabda Rasulullah saw, keutamaan kalimat la haula wala quwwata illa billah atau hauqalah bisa mendapatkan jaminan surga kelak di akhirat. Namun, bacaan ini tidak hanya tentang pahala dan surga. Lebih dari itu kalimat la haula wala quwwata illa billah atau hauqalah juga dapat menjadi tameng untuk membentengi diri dari ebrbagai hal yang membahayakannya. Al-hafidh Abdurrahman al-Munawi (wafat 1031 H) menuturkan, suatu saat sahabat Jabir ra mengadu kepada Rasulullah saw atas suatu kejadian yang menimpa dirinya. Kemudian Rasulullah saw memerintahkan para sahabat untuk memperbanyak membaca kalimat la haula wala quwwata illa billah atau hauqalah, karena dapat menolak segala pintu kejelekan. Rasulullah saw bersabda:
اِسْتَكْثِرُوْا مِنْ لَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللهِ، فَإِنَّهَا تَدْفَعُ تَسْعَةً وَتِسْعِيْنَ بَابًا مِنَ الضَّرِّ أَدْنَاهَا الْهَمُّ (رواه العقيلي. ضعيف
Artinya, “Perbanyaklah dari (membaca) la haula wala quwata illa billah, karena sesungguhnya ia bisa menolak sembilan puluh Sembilan pintu dari beberapa pintu kejelekan, dan yang paling ringan darinya adalah kesusahan.” (HR al-‘Uqaili. Dha’îf). (Al-Munawi, Faidhul Qadîr, juz I, halaman 638).
Menurut al-Hafidh al-Munawi, makna ‘kejelekan’ pada hadits di atas tidak hanya sebatas kebahayaan pada jiwa diri sendiri, termasuk di dalamnya adalah jeleknya etika, kesulitan dan kefakiran. Dengan kata lain, Allah akan menyelamatkan orang-orang yang membaca la haula wala quwwata illa billah atau hauqalah dari berbagai kejadian-kejadian tersebut serta menjauhkan darinya.
Sayyid Muhammad bin ‘Ali Ba Alawi al-Husaini at-Tarimi mengutip pendapat Imam al-Barmawi (wafat 831 H), bahwa di balik kalimat la haula wala quwwata illa billah atau hauqalah terdapat faedah yang sangat besar, yaitu terpenuhinya segala hajat. Dalam kitabnya disebutkan:
قَالَ البَرْمَاوِي: مَنْ قَالَهَا فِي كُلِّ يَوْمٍ خَمْسَمِائَةِ مَرَّةٍ وَنَوَى بِذَلِكَ حَاجَةً قُضِيَتْ، وَاِنْ كَانَ أَسِيْرًا فَكَّ، وَاِنَّهَا تَفُكُّ الخَلْقَ الْمُبْهَمَ، وَالقَضَاءَ الْمُبْرَمَ
Artinya,
“Imam al-Barmawi berkata: ‘Orang membaca la haula wala quwwata illa billah atau hauqalah setiap hari sebanyak 500 kali dan diniati untuk sebuah hajat, maka (oleh Allah) akan dipenuhi. Jika pembaca dalam keadaan dipenjara/ditahan maka akan lepas, dan sesungguhnya bacaan tersebut bisa membuka kejadian yang masih samar dan takdir mubram (takdir yang tidak bisa diubah)’.” (Muhammad bin ‘Ali, al-Wasâ-ilusy Syâfi’ah, halaman 53).
Demikian beberapa penjelasan ulama dalam mengartikan kalimat la haula wala quwwata illa billah atau hauqalah yang sering dibaca oleh umat Islam. Hendaknya, dengan mengetahui beberapa keutamaan dan makna yang terkandung di dalamnya, setiap pembaca semakin sadar bahwa tidak ada yang bisa memberikan manfaat dan menolak setiap mudharat kecuali Allah. Jika Allah sudah berkehendak, maka tidak ada yang bisa menghalangi-Nya. Pun juga ketika Allah menolak, tidak ada seorang pun yang bisa meraih apa yang ditolak oleh-Nya. Selain itu juga membentuk kesadaran pembaca, bahwa semua ketaatan yang dilakukan tidak disebabkan oleh dirinya sendiri, namun pemberian taufiq dari Allah, yang bisa saja dihilangkan di lain waktu. Tentunya, ketaatannya tidak pantas dijadikan kesombongan kepada orang lain, siapapun itu. Wallâhu a’lam.
Ustadz Sunnatullah, Pengajar di Pondok Pesantren Al-Hikmah Darussalam, Durjan, Kokop, Bangkalan.
Sumber: https://islam.nu.or.id/shalawat-wirid/kalimat-la-haula-wala-quwwata-atau-hauqalah-makna-dan-keutamaannya-dB4Qa